YESUS TETAP RAJA BAGI DUNIA YANG PENUH KEBINGUNGAN

 

Di zaman sekarang, di mana informasi begitu mudah tersebar namun seringkali membingungkan. Termasuk dalam hal pemaknaan kematian dan kebangkitan Yesus, yang acapkali menjadi kabur. Fenomena yang dapat ditemui dalam berbagai konteks lingkup Kekristenan,  perayaan Jumat Agung dan Paskah hanya sebatas rutinitas tahunan gerejawi tanpa benar-benar memahami kedalaman maknanya. Padahal, peristiwa salib dan kebangkitan bukan sekadar bagian dari kalender gerejawi, tetapi pusat dari iman Kristen. Kutipan Injil Yohanes 19:19 “Dan Pilatus menyuruh memasang juga tulisan di atas kayu salib itu, bunyinya: “Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi”dalam dimensi yang mendalam. Bahwa kutipan firman tersebut, tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, melainkan juga menyimpan pesan penting bagi dunia masa kini yang sedang mengalami krisis identitas, otoritas, dan kebenaran. Pertanyaan yang perlu diajukan dalam konteks uraian ini adalah: “Apa yang dapat dipahami dan diimplementasikan dari bacaan Yohanes 19:19?”  Berikut ini adalah paparan tentang sekelumit pemahaman teks yang menjadi fokus sekalian:

 

Telaah Tekstual

Merujuk pada teks Yunani “Greek Study Bible (Apostolic / Interlinear)” Yohanes 19:19 memuat narasi yang memiliki makna mendalam. Ketika Pilatus menulis dan menggantungkan tulisan di atas salib Yesus, ia memilih kata-kata yang secara kebetulan atau justru secara ilahi, sangat kuat menyuarakan kebenaran identitas Yesus. Frasa yang dituliskan: “Ἰησοῦς ὁ Ναζωραῖος ὁ βασιλεὺς τῶν Ἰουδαίων” yang diterjemahkan: “Yesus orang Nazaret, Raja orang Yahudi,” memberikan gagasan paradoks dari identitas pribadi Yesus. Dalam kalimat ini, muncul dua artikel definitif (ho) yang secara linguistik menandai kejelasan dan kekhususan identitas. Yang pertama melekat pada kata “Ναζωραῖος” (Nazoraios: orang Nazaret), menunjukkan asal-usul geografis Yesus yang dikenal publik; sedangkan artikel kedua melekat pada kata “βασιλεὺς”  (Basileus: raja), yang dalam konteks ini tampaknya dimaksudkan untuk mengejek. Namun justru secara tidak langsung menegaskan kebenaran yang lebih besar. Bahwa Yesus sungguh Raja bukan dalam artian kekuatan politik, melainkan karena otoritas ilahi yang melekat pada diri-Nya. Sehingga, struktur ini bukan hanya menyebut siapa Yesus menurut pandangan manusia, tetapi juga membocorkan identitas-Nya menurut perspektif surgawi.

Selanjutnya, dua kata kerja utama dalam ayat ini adalah: “ἔγραψεν” (egrapsen: ia menulis) dan “ἔθηκεν” (etheken: ia meletakkan), menggunakan bentuk aorist. Bentuk ini merupakan sebuah bentuk lampau dalam bahasa Yunani yang menekankan tindakan yang tuntas dan selesai. Ini menunjukkan bahwa Pilatus tidak hanya sekadar berpikir untuk menulis atau merencanakan; ia sungguh telah melakukannya. Tindakan itu terjadi dalam momen sejarah yang nyata dan selesai, namun memiliki gema yang terus hidup dalam narasi iman Kristen. Yang menarik adalah munculnya kata “γεγραμμένον(gegrammenon), bentuk perfect passive participle dari “γράφω” (grafo: menulis), yang menyiratkan bahwa tulisan itu “telah tertulis dan tetap tertulis.” Artinya, apa yang tertulis oleh Pilatus bukan hanya informasi sesaat. Melainkan menjadi pernyataan yang bertahan, terus dibaca, direnungkan, dan pada akhirnya menjadi semacam deklarasi publik, bahkan spiritual, tentang siapa Yesus sebenarnya. Tulisan itu menjadi pengakuan tak langsung bahwa Raja Israel yang sejati telah datang, sekalipun dunia menolaknya dengan penghinaan salib.

Dari sisi gramatikal, struktur kalimat Yohanes 19:19 menyajikan susunan yang padat dan bermakna. Subjek dari kata kerja pertama adalah “ὁ Πιλᾶτος” (ho Pilatos: Pilatus), dalam kasus nominatif sebagai pelaku. Objek langsungnya, “τίτλον” (titlon: tulisan), muncul dalam bentuk akusatif. Kata kerja “ἔθηκεν” (etheken: meletakkan) berpasangan dengan frasa preposisional “ἐπὶ τοῦ σταυροῦ” (epi tou staurou: di atas salib), menunjukkan letak fisik tulisan itu. Kalimat selanjutnya, “ἦν δὲ γεγραμμένον” (ne de gegrammenon), menggunakan bentuk “ἦν” (en: adalah), dari kata kerja “εἰμί” (eimi), dikombinasikan dengan participle perfect “γεγραμμένον,” yang secara literal dapat diterjemahkan “telah tertulis dan tetap tertulis.” Bagian akhir, “Ἰησοῦς ὁ Ναζωραῖος ὁ βασιλεὺς τῶν Ἰουδαίων” (Iesous ho nazoraios basileus ton ioudaion) berada seluruhnya dalam kasus nominatif, yang dalam konteks ini menunjukkan bahwa frasa tersebut adalah isi tulisan yang dicantumkan, bukan sekadar objek narasi. Terjemahan langsungnya dari keseluruhan Yohanes 19:19 dapat dibaca berikut ini: “Dan Pilatus menulis juga sebuah tulisan dan meletakkannya di atas salib. Dan yang tertulis itu adalah: Yesus, orang Nazaret, Raja orang Yahudi.” Struktur ini mencerminkan keseimbangan antara ironi sejarah dan kebenaran teologis. Sebab walau Pilatus mungkin bermaksud menyindir atau menghina, namun dalam narasi Injil Yohanes, pernyataan ini menjadi proklamasi terbuka: bahwa Yesus memang Raja—bukan dalam pengertian duniawi, tetapi sebagai Raja dalam kerajaan Allah yang kekal.

 

Implikasi Teologis

Pernyataan “Yesus orang Nazaret, Raja orang Yahudi” bukan hanya sebuah sindiran dari Pilatus, tetapi secara tidak langsung merupakan penggenapan nubuat-nubuat dalam Perjanjian Lama. Dalam Mazmur 2:6-7, Allah sendiri menyatakan bahwa Ia telah menetapkan Raja-Nya di Sion, dan menyebut-Nya sebagai Anak-Nya. Ini selaras dengan pengakuan Allah terhadap Yesus dalam baptisan-Nya (Mat. 3:17) dan peristiwa transfigurasi (Mat. 17:5). Zakharia 9:9 juga menubuatkan tentang Raja yang datang dengan rendah hati, mengendarai seekor keledai, yang secara langsung digenapi oleh Yesus dalam peristiwa masuk ke kota Yerusalem (Mat. 21:5). Dalam Yohanes 18:36, Yesus sendiri menegaskan bahwa kerajaan-Nya bukan dari dunia ini, memperjelas bahwa kerajaan-Nya berdimensi rohani dan kekal, bukan politik ataupun nasionalistik. Kalimat yang tertulis di atas salib menjadi kontras yang tajam: Raja yang tidak disambut dengan mahkota emas, tetapi mahkota duri; bukan dengan takhta, tetapi dengan salib.

Perjanjian Baru berulang kali mengafirmasi tema kerajaan Yesus sebagai sentral dari pemberitaan Injil. Dalam Filipi 2:9-11, Paulus menyatakan bahwa karena kerendahanNya, Yesus ditinggikan dan kepadaNya mengaruniakan Nama di atas segala nama. Dengan demikian,  semua makhluk akan bersujud dan mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Penulis kitab Ibrani juga menyebut Yesus sebagai Raja yang duduk di sebelah kanan Allah (Ibr. 1:3-4; 10:12-13). Bahkan Yesus disembah oleh seluruh makhluk sorgawi, sebagai Penguasa sorgawi (Ibr. 1:6-8). Hal ini menggambarkan posisi otoritas-Nya yang mutlak setelah pengorbanan-Nya. Dalam Wahyu 19:16, Yesus dikenali sebagai “Raja segala raja dan Tuhan segala tuan”, sebuah pengakuan eskatologis bahwa kerajaanNya akan digenapi sepenuhnya di akhir zaman. Maka, dari Perjanjian Lama hingga Wahyu, gambaran Yesus sebagai Raja bukan sekadar simbol, melainkan benang merah dari rencana penyelamatan Allah yang utuh. Apa yang tertulis oleh Pilatus di kayu salib, mungkin dianggap remeh. Akan tetapi, dalam narasi keseluruhan Kitab Suci, itu adalah pernyataan kebenaran ilahi yang tak tergoyahkan.

 

Aplikasi Kekinian

Kalimat di atas salib itu punya gema yang sangat relevan untuk zaman kita. Dunia modern mengagungkan kekuatan, kepintaran, dan pencitraan. Namun, Yesus menunjukkan model kepemimpinan yang sangat berbeda: Ia menyatakan otoritasNya melalui pelayanan dan pengorbanan diri untuk keselamatan kekal manusia. KemenanganNya ditempuh dengan jalan terjal penistaan di atas salib, yang secara bersamaan menunjukkan kasihNya yang luar biasa. Gereja dibentuk dan dipanggil tidak hanya untuk mengenang Jumat Agung dan merayakan Paskah, tetapi hidup dalam semangatnya setiap hari. Di tengah dunia yang mudah dipecah oleh kebohongan dan ego, iman kepada Raja yang tersalib dan bangkit menjadi dasar untuk membangun hidup yang penuh pengharapan, keberanian, dan cinta kasih. Kita tidak hanya mengenang peristiwa itu, tapi dipanggil untuk menjalaninya dalam kehidupan nyata; di rumah, di gereja, di media sosial, dan di masyarakat luas. Artinya, setiap pengikut Kristus dipanggil untuk menjadi cerminan dari Raja yang rela menderita demi yang lemah. Di tengah budaya kompetisi yang menekan dan narasi populer yang sering menolak nilai-nilai kekudusan dan kebenaran, umat Tuhan diajak untuk menampilkan kepemimpinan yang melayani, membela yang tertindas, dan merangkul yang terpinggirkan. Ketika dunia merayakan keberhasilan lewat pencapaian dan pengaruh, kita diajak untuk menghidupi keberhasilan dalam bentuk kesetiaan, kerendahan hati, dan kasih yang setia meski tak selalu dipuji. Dalam setiap relasi antar personal; baik dalam keluarga, komunitas iman, maupun di ruang digital, kita dapat membawa nilai-nilai salib dan kebangkitan. Hal tersebut, menjadikan hidup kita sebagai perpanjangan pesan yang tertulis di atas kayu salib: bahwa Yesus, Sang Raja sejati, hadir melalui hidup kita yang dibentuk oleh kasih dan kebenaranNya.

 

 

Studi Lebih Lanjut:

Carson, D. A. The Gospel According to John. The Pillar New Testament Commentary. Grand Rapids, MI: William

  1. Eerdmans Publishing Company, 1991.

Beale, G. K., and D. A. Carson, eds. Commentary on the New Testament Use of the Old Testament. Grand

Rapids, MI: Baker Academic, 2007

Köstenberger, Andreas J. John. Baker Exegetical Commentary on the New Testament. Grand Rapids, MI: Baker

Academic, 2004.

Wright, N. T. Jesus and the Victory of God. Christian Origins and the Question of God, Vol. 2. Minneapolis, MN:

Fortress Press, 1996.

Wright, N. T. How God Became King: The Forgotten Story of the Gospels. New York: HarperOne, 2012

__________, “John 19:19  Text Analysis.” BibleHub.  https://biblehub.com/text/john/19-19.htm

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *